Minggu, 30 Januari 2011

Jangan Bercermin Bila...

http://imafstory.blogspot.com
Dua orang anggota pemadam kebakaran masuk ke dalam hutan untuk memadamkan suatu kebakaran kecil. Sesudah selesai, mereka berdua lantas menuju sebuah sungai. Wajah salah satu angggota pemadam tersebut nampak berjelaga hitam; sebaliknya wajah seorang lagi bersih sama sekali tanpa noda.

Sampai disini saya ajukan pertanyaan, “Siapakah dari kedua orang tersebut yang akan membasuh mukanya?”

Siapakah yang akan mencuci muka?  Yang berwajah kotor atau yang berwajah bersih? Jawaban yang benar adalah anggota pemadam kebakaran yang berwajah bersih.  Mungkin jawaban ini agak membingungkan.  Mengapa yang berwajah kotor tidak membasuh mukanya?

Alasannya demikian: Bila yang berwajah kotor itu melihat temannya yang berwajah bersih, maka dia pun berpendapat bahwa wajahnya pastilah bersih seperti rekannya. Namun hal yang sebaliknya terjadi pada yang berwajah bersih. Bila dia melihat kotoran di wajah temannya itu, maka dia pun berkata kepada diri sendiri: "Mukaku pun pasti kotor seperti itu. Sebaiknya aku bersihkan!"

Cermin yang benar, bila memandangnya, kita mampu menginsafi akan kelemahan diri. Cerita ini merupakan analogi terhadap apa yang terjadi terhadap anggota pemadam kebakaran berwajah bersih saat  melihat wajah kawannya yang kotor itu.

Bila kita mempunyai seorang teman yang baik sifatnya, maka mereka adalah cermin untuk menilai apa yang masih kurang pada diri kita. Jika teman itu kurang baik pula sifatnya, ia tetap bisa menjadi cermin untuk mengingatkan apakah sifat kita juga sebenarnya demikian?

Itulah dia cermin yang digunakan oleh mereka yang selalu muhasabah (introspeksi) diri. Bila kita menggunakan cermin yang salah, bila memandangnya, kita semakin bangga akan kesempurnaan palsu pada diri. Hal ini merupakan analogi yang terjadi ketika anggota pemadam kebakaran yang berwajah kotor melihat wajah kawannya yang bersih itu.

Rasulullah saw bersabda:
“Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib diri mereka sendiri dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib orang lain (HR. Adailami)”

Sebab utama cermin dibuat adalah untuk melihat kalau-kalau ada yang tidak tepat pada penampilan diri kita. Apakah rambut kita tersisir rapi? Apakah jilbab yang kita kenakan tidak melenceng, dan rambut masih terjuntai? Apakah kumis dan jenggot yang dicukur telah rata? Apakah celak dan lipstik yang dioleskan telah memadai? Atau masih adakah tahi mata, ketika kita tersadar dari bangun?
Dengan kata lain, kita melihat cermin untuk memastikan kesempurnaan fisik diri. Kata kunci di sini adalah "memastikan kesempurnaan".  Artinya, melihat cermin dengan tujuan untuk "introspeksi akan kesempurnaan, untuk perbaikan".

Lalu, kira-kira apakah bentuk yang ada di balik cermin berubah dari yang di depan cermin? Tidak! Jelas pasti dan sangat tidak! Ia hanya akan memantulkan persis tanpa merubah. Selain masalah kanan dan kiri, ia tidak merubah esensi dari yang dipantulkannya sedikitpun. Nah begitu pula dengan hidup.

Seharusnya hidup juga sama seperti cermin. Memantulkan seutuhnya diri kita. Termasuk sisi yang tak bisa terlihat saat kita tak memandang, disaat kiri menjadi kanan, dan kanan menjadi kiri. Namun kadang cermin memang bisa menjadi buram, sehingga tak terlihat atau bahkan diri kita hanya terlihat samar-samar, bisa jadi hasilnya terlihat seprti dalam ilustrasi gambar diatas. Biasanya, cermin bisa menjadi buram oleh kotoran, embun, ataupun coretan.

Firman Allah:
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“ Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa [Qs. An-najm (53) : 32]”

Sama seperti hidup. Bagaimana kita memandang, melihat sesungguhnya diri kita sendiripun bisa kadang...tak terkenali selayaknya saat memandang ke cermin yang buram. Status, jabatan, harta yang seringkali bisa merusak pemandangan itu. Menghalangi kita memandang, dan mengetahui siapa diri kita sesungguhnya. Apalagi kalau kita bercermin pada cermin yang salah, cermin retak!...maka kita tak akan pernah bisa melihat siapa kita sebenarnya.

“Kawan pendamping yang sholeh ibarat penjual minayak wangi. Bila dia tidak memberimu minyak wangi, kamu akan mencium keharumannya. Sedangkan kawan pendamping yang buruk ibarat tukang pandai besi. Bila kamu tidak terjilat apinya, kamu akan terkena asapnya (HR. Bukhari)”.

                Dr. Muhammad Faiz Almath, 1993, 1100 Hadists Terpilih, Gema Insani Press.
               Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, , 2009, Ensiklopedi  Islam Kaffah, Pustaka Yassir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar