Selasa, 01 Februari 2011

ISLAM DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Perhatian Islam terhadap penanggulangan kemiskinan dan fakir miskin tidak dapat diperbandingkan dengan agama samawi dan aturan ciptaan manusia manapun, baik dari segi pengarahan maupun dari segi pengaturan dan penerapan. Semenjak fajarnya baru menyigsing di kota Mekkah, Islam sudah memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan. Adakalanya Quran merumuskannya dengan kata-kata "memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan sebahagian rezeki yang diberikan Allah", "memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat" dan rumusan lainnya [baca Ancaman Surat AL-Lail bagi Si “Bakhil”].


مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (٤٢)قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (٤٣)وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (٤٤)

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab,  "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin [QS AL-Mudatsir (73) : 42-44].

Memberi makan orang miskin yang meliputi juga memberi pakaian, perumahan dan kebutuhan-kebutuhan pokoknya adalah merupakan realisasi dari keimananan seseorang (lihat surat Al Mudatsir, Al Haqqah). Quran tidak hanya menghimbau untuk memperhatikan dan memberi makan orang miskin, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang Mu'min mendorong pula orang lain memperhatikan orang-orang miskin dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.

خُذُوهُ فَغُلُّوهُ (٣٠) ثُمَّ الْجَحِيمَ صَلُّوهُ (٣١) ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ (٣٢)  إِنَّهُ كَانَ لا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ (٣٣)  وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (٣٤)

“(Allah berfirman kepada pengawal Jahannam): "Peganglah mereka! lalu belenggulah tangannya ke lehernya! kemudian masukkanlah meraka ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah mereka dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya mereka dahulu tidak beriman kepada Allah yang Maha besar. Dan juga tidak mendorong/menganjurkan untuk memberi makan kepada orang miskin” [QS. AL-Haaqqah (69) : 30-34]

Dalam surat Al Fajr, Allah membentak orang-orang Jahiliah yang mengatakan bahwa agama mereka justru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan berasal dari nenek moyang mereka, Ibrahim;

كَلا بَل لا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ-  وَلا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mendorong/mengajak memberi Makan orang miskin” [QS. Al-Fajr (89) :17-18].

Demikian pula pada surat Al Maun dimana dikatakan; orang yang mengusir anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin" dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama. Orang yang tidak pernah menghimbau orang lain untuk memberi makan orang miskin biasanya tidak pernah pula memberi makan orang miskin tersebut. Tuhan mengungkapkan dalam bentuk sindiran dengan tujuan apabila seseorang tidak mampu memenuhi harapan orang miskin, maka ia harus meminta orang lain melakukannya.

Termasuk diantara golongan orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak menganjurkan memberi makan kepada para fakir miskin, sebagai firman Allah dalam QS Al Maa’uun, demikian juga ancaman dalam QS AL-Mudatsir,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ - فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ  - وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.” [QS. Al-Maa’uun (107) : 1-3].

Selanjutnya dalam surat Adz Dzariyat (51) : 19,

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

"Dalam kekayaan mereka tersedia hak peminta-minta dan orang-orang yang hidup berkekurangan"

Digambarkan disini orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadarai sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik sendiri yang dapat mereka perlakukan semau mereka, tetapi menyadari bahwa di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang butuh. Dan hak itu bukan pula merupakan hadiah atau sumbangan karena kemurahan hati mereka, tetapi sudah merupakan hak orang-orang tsb. Penerima tidak bisa merasa rendah dan pemberi tidak bisa merasa lebih tinggi. Lihat pula surat Al Ma'arif [QS. (70) : 19-25].

إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (١٩) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (٢٠) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (٢١) إِلا الْمُصَلِّينَ (٢٢) الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاتِهِمْ دَائِمُونَ (٢٣) وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (٢٤) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (٢٥)

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”

Ayat-ayat di atas diturunkan di Makkah, sementara zakat diwajibkan di Madinah. Dengan demikian, sejak saat-saat awal kurun Makkah, Islam telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang-orang Islam bahwa ada hak-hak orang yang berkekurangan dalam harta mereka. Hak yang harus dikeluarkan, tidak hanya berupa sedekah sunnat yang mereka berikan atau tidak diberikan sekehendak mereka sendiri. Kata zakat sendiri sudah digunakan dalam ayat-ayat Makiyah seperti pada surat : Ar Rum (30) : 38-39, An Naml (27):1-3, Luqman (31):4, Al Mu'minun (23):4, Al A'raf (7):156-157, dan Fushshilat (41) : 6-7.

Walau Al Quran sudah membicarakan zakat dalam ayat-ayat Makiah, namun demikian zakat itu sendiri baru diwajibkan di Madinah. Zakat yang turun dalam ayat-ayat Makiah tidak sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya. Demikianlah keindahan Islam dalam menganjurkan penanggulangan kemiskinan. Dan apa hukumannya bila kita lalai?

Bagaimana dengan negara kita, Indonesia? perhatikan dalam UUD Negara RI tahun 1945, Pasal 34: (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara; (2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; (3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Bagaimana sampai bisa keluar kesinisan yang luar biasa : “Orang Miskin Dilarang Sakit” dan “Orang Miskin Di Larang Sekolah”, di negeri dengan mayoritas muslim ini? Mari kita jawab dengan hati kita masing-masing.

Sumber bacaan:           
Sari Penting Kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawy, Ebook Abu Azka, Lukman Mohammad Baga.
Tafsir Rahmat, H. Oemar Bakry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar