Islam dikenal sebagai agama fithroh dan selalu mengajarkan tingkah laku yang sesuai dengan fithroh manusia. Kesadaran untuk memahami makna fithroh adalah sangat penting karena tingkah laku manusia yang sesuai dengan fithroh akan membawa kehidupan yang bersih, harmonis dan mengantar kepada kebahagiaan pribadi dan masyarakat secara menyeluruh.
Fithroh berasal dari bahasa Arab memiliki makna, setiap wujud pada asal diciptakan. Sifat pembawaan, watak asal, tabiat (Arab; thobi’ah), suci, bersih, tidak bernoda. Sebelum terpengaruh atau terkontaminasi oleh keadaan atau lingkungan. Nah, fithroh adalah keadaan suci, bersih, indah, baik, mulia, serasi, harmonis.
Yang terpenting dalam keadaan fithroh itu ialah kesiapan manusia untuk menjadi muslim ber‘aqidah atau berkeyakinan tentang wujud Maha Pencipta, Alloh Ta’ala dan pengakuan sebagai hamba yang wajib mengabdi kepada Alloh swt. Hal ini diungkapkan Alloh dengan sangat terang di alam ghoib semasa manusia belum lahir ke dunia. Alloh berfirman :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah) ketikaTuhanmu menjadikan keturunan Adam dari tulang punggung mereka dan Alloh mengambil kesaksian atas diri mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Benar, kami menjadi saksi.” Yang demikian supaya kamu tidak mengatakan di hari qiamat, ”Sesungguhnya kami orang-orang yang lalai tentang ini.” (QS. Al A’rof (7):172)
Peristiwa yang diungkap ayat tersebut, di luar jangkauan akal, karena pada masa yang tak diketahui secara ilmiah (penelitan manusia). Karena sifat ilmu manusia itu berdasar pengalaman, penelitian, experimen, pembuktian berulang-ulang hingga tampak jelas atau nyata wujud dan kebenarannya. Sungguh ilmu yang membatasi kebenaran berdasarkan logika dan realita itu memilki banyak kelemahan karena di alam ini banyak sekali hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh nalar, karena daya jangkau dan kekuatan akal itu amat terbatas. Bahkan termasuk hypothesa yang menilik hal-hal di luar masa kelahiran, dan wujud manusia dalam kurun waktu berjuta-juta tahun yang lampau, termasuk dalam klasifikasi ini. Siapa yang dapat memastikan kebenaran hasil teori ilmu masa lampau itu ? Menurut kami itu adalah prakiraan ilmiyah. Atau teori pemikiran (khayal) yang diilmiahkan.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَـنْهُ لِسَانُهُ، فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أوْيُنَصِّرانِهِ، أوْ يُمَجِّسَانِهِ" (صحيح) (ع، طب) عن الاسودبن سريع.
“Setiap kelahiran, dilahirkan atas fithroh, hingga difasihkan lidahnya dari padanya, maka kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, atau menjadikannya Nasroni, atau menjadikannya Majusi.” (Musnad Abi Ya’la, Ath Thobaroniy)
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَىالْمِلةِ، فأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، وَيُنَصِّرانِهِ، وَيُشَرِّكَانِهِ. قِيْلَ : فَمَنْ هَـلَكَ قبْلَ ذلِكَ؟ قَالَ : اللهُ أعْـلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِيْنَ. (صحيح)
(ت) عن ابي هـريره.
“Setiap kelahiran dilahirkan di atas millah (agama; fithroh), maka kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, dan menjadikannya Nasroni, dan menjadikannya musyrik. Dikatakan : Maka siapakah yang binasa sebelum itu ? Beliau menjawab : Alloh yang lebih mengetahui tentang apa yang mereka lakukan.” (Sunan At Turmuziy dari Abu Huroiroh).
Dalam dua hadis di atas dijelaskan bahwa kedua orang tua memegang peran amat penting dalam membentuk watak manusia yang baru lahir, karena bayi masih dalam keadaan bersih sebagai watak pembawaan, yaitu dalam wujud fithroh. Orang banyak menyebut bagai kertas putih lagi bersih, sehingga ketika itu tergantung yang menulis kertas putih itu. Apa pun bentuk tulisannya maka itulah yang akan menjadi watak si bayi fithroh itu. Apakah sepenuhnya akan terjadi demikian ? Tentu tidak. Tetapi yang menjadi dasar “penulisan” kertas putih itu ialah menanamkan aqidah sohihah tentang tauhidu ‘lloh, mengesakan Alloh, sifat-sifat-Nya yang mulia dan pokok aqidah dalam Islam. Inilah yang di maksudkan oelah hadis tersebutdengan sabdabeliau : “Maka kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi atau menjadikannya Nasroni atau menjadi-kannya Majusi.” “dan menjadikannya musyrik.”
Ada pun hal-hal lain, seperti kecerdasan, ilmu, keahlian, kedudukan, tingkah laku hidup sehari-hari dan berbagai masalah yang mengiringi kehidupan manusia yang tak terkirakan jumlahnya, tentu tidak sepenuhnya dapat dibentuk sebagai tanggung jawab kedua orang tuanya.
Kewajiban orang tua, mengamanahkan pada ahlinya dalam mengembang tumbuhkan bakat anak. Hal-hal yang bersifat keilmuan, keahlian dan tingkah laku anak juga termasuk bakat pembawaan atau ada hubungannya dengan keturunan, selain dari bakat mengimani Alloh dan mengikuti agama fithroh (Islam) tersebut. Maka orang tua berkewajiban untuk mengarahkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar