Selasa, 03 Mei 2011

The Power of Forgiveness


[MSB]     Manusia bukanlah malaikat yang bisa luput dari silap dan khilaf. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana di dalam dirinya bersemayam 2 potensi yang acap kali tarik menarik. Potensi ilahiyah (kebaikan) dan potensi syaitaniah (kejahatan) di sisi yang lain. Ketika potensi syaitaniyah mengungguli potensi ilahiyah, maka di saat itulah kesalahan tercipta. Kesalahan yang bisa jadi sadar atau tidak sadar membuat perasaan orang lain terluka. Entah karena sebab penghinaan, penganiayaan atau haknya yang telah direnggut paksa.

Namun sebaliknya, bagi orang yang teraniaya yang menjadi korban dari perbuatan itu, kemudian ternyata mampu memberikan maafnya, maka detik itulah, sesungguhnya dimensi ilahiyah yang ada dalam dirinya mengatasi dimensi syaitaniyah–nya. Menjadikannya manusia mulia, bahkan boleh dikatakan derajatnya melampaui malaikat. Kemulian itu kian menjulang, manakala orang yang disakiti tersebut, memiliki kesempatan atau kekuasaan untuk melakukan pembalasan, tapi ternyata lebih memilih untuk tetap memaafkannya. 


Hanya sayangnya, perbuatan memaafkan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sebab banyak orang lebih memilih memendam rasa sakit hatinya ternyata. Sambil menanti kesempatan untuk membalasnya. Baginya membalas rasa sakit hati akan lebih bermartabat. Sebagaimana dikenal dalam tradisi bugis-makassar dengan budaya siri’ atau di Madura dengan budaya Carok-nya. Kalaulah kesempatan itu tidak kunjung datang, pun ia lebih memilih untuk tetap menyimpan dan mendekap erat-erat sakit hati itu ketimbang harus memberi maaf. Walaupun karenanya harus memikul siksa bathin yang berkepanjangan. 

Berbeda halnya dengan meminta maaf, seseorang relatif tidak mengalami pergolakan bathin yang lebih serius. Sebab orang meminta maaf berangkat dari kesadaran bahwa ia telah melakukan kesalahan dan sudah sepatutnya ia meminta maaf kepada orang yang disakitinya. Lebih beratnya lagi karena perbuatan memaafkan tidak mensyaratkan permintaan maaf terlebih dahulu dari pelaku. Ada atau tidak adanya permintaan maaf, bukan soal. Yang dibutuhkan adalah keikhlasan, ketulusan dan kelapangan hati untuk melupakan sakit hati yang timbul akibat perbuatan orang lain (release and forget).
Lebih lanjut baca: Awas, Racun Dalam Dirimu !!!

Kendala Terbesar Dalam Memaafkan 

Gede Prama dalam bukunya Jejak-jejak Makna mengutip pendapat Wayne W Dyer (There’s Spiritual Solution to Every Problem) dan Eckart Tolle (The Power of Now) menjelaskan bahwa masalah dan musibah, terkait erat dengan bagaimana manusia memandang waktu yaitu psychological time. Waktu dalam bentuk clock time memang berjalan ke depan tanpa ada yang bisa mengeremnya. Namun psychological time, ia maju mundur tergantung seberapa kuat pikiran berkuasa dalam kehidupan seseorang. Siapa saja yang menggendong terlalu banyak masalah dan musibah dalam hidupnya, umumnya memiliki pikiran yang melompat-lompat. Ketika melompat ke masa lalu, temannya bernama penyesalan, kenangan tak terlupakan, marah yang tidak termaafkan, dengki yang tidak terobati. Tatkala, melompat ke depan, sahabatnya bernama harapan, cita-cita, kekhawatiran, ketakutan, ketidakyakinan. Ujung-ujungnya hidup di masa kini jadi lenyap, hilang ditelan bumi.

Dengan menggunakan penghampiran yang serupa, sejatinya ketidakmampuan kita untuk memaafkan, lebih banyak disebabkan pemanfaatan psychological time secara tidak arif. Kita kerap kali berkunjung ke masa lampau, hanya melihat kesalahan atau keburukan orang lain dan mengeliminasi kebaikan yang pernah dilakukannya. Sehingga tidak heran, kalau ditanyakan kesalahan apa yang orang lain pernah perbuat, dengan mudah kita akan mampu menyodorkan “daftar dosa-dosa” orang tersebut. Tapi, disaat yang sama, ketika diminta menyebutkan kebaikan apa yang pernah orang tersebut perbuat, sontak kita seakan-akan mengidap amnesia, tidak mampu untuk mengingatnya. Akibatnya, terlalu banyak ‘sakit hati’ yang dipikul, sampai-sampai harus tertatih-tatih melangkah dalam menjalani hidup. Akhirnya, kita terlanjur terlalu letih untuk membuka pintu hati dengan memberi maaf.

Kenapa Memaafkan ?

Kenapa harus memaafkan? Bukankah perbuatan itu adalah hak, bukan kewajiban. Hak dalam pengertian karena tersakiti, maka opsi moral untuk memaafkan atau menuntut balas sepenuhnya berada dalam genggaman ‘korban’. Bahkan dengan menggunakan pendekatan legalistik, sikap tersebut seolah mendapat pengabsahan sebab setiap kejahatan diancam dengan hukum penjara atau denda.

Namun dari perspektif agama, QS Ali-Imran (3) : 134, Allah SWT menegaskan bahwa ciri orang yang bertaqwa adalah:

‘Mereka yang selalu menafkahkan harta, pada saat senang ataupun susah, mereka yang selalu berusaha menahan kemarahan dan memaafkan orang lain’

Ayat tersebut menegaskan bahwa perbuatan memaafkan merupakan ibadah, yang merupakan salah satu ciri dari orang-orang yang bertaqwa. Sehingga sebagai seorang muslim yang berharap ridha Allah dalam hidupnya, perintah agama tersebut menjadi tuntunan yang seoptimal mungkin dijalankan. Apalagi Allah SWT sebagai sang Pencipta, Maha Pemaaf terhadap hamba-hamba-Nya yang berdosa, kenapa kita hamba-Nya yang pasti tak luput dari salah dan dosa tidak mencoba melakukan hal yang sama. Memaafkan kesalahan orang lain.

Selanjutnya, meskipun belum ada hasil studi yang secara resmi menyimpulkan manfaat dari perbuatan memaafkan, namun beberapa ahli-ahli sosial telah memulai mengkuantifikasikannya dengan kesimpulan sebagai berikut: 

A.  Mengurangi bahaya penyakit jantung
    Pada tanggal 2 Januari 1998, ABC News melaporkan “sebuah studi menunjukkan bahwa dengan melupakan setiap kemarahan dan kekesalan dapat mengurangi tingkat keseriusan dari penyakit jantung dan bahkan untuk beberapa kasus tertentu dapat memperpanjang usia penderita kanker."

B.  Mencegah kejahatan 
   Tahun 1995 sebuah studi yang dilakukan oleh The University of Montgomery menganalisis bagaimana keinginan untuk melakukan balas dendam (lawan dari pada perbuatan memaafkan) menjadi faktor terjadinya tindak kejahatan. Studi itu secara jelas menunjukkan bahwa pendidikan memaafkan dapat memainkan peran penting dalam mengurangi respon untuk melakukan balas dendam yang ujungnya dapat mengarah pada perbuatan kriminal. 

C. Mengatasi problem rumah tangga
    Dr. Frederick DiBlasio dari University of Maryland adalah salah seorang ahli terapi keluarga yang terhitung sukses. Dia menggunakan terapi memaafkan sebagai alat untuk mendamaikan kembali pasangan suami-istri yang tengah menghadapi problem rumah tangga, di saat dengan menggunakan teknik lain terbukti tidak efektif. 

Dalam konteks lebih makro (kebangsaan), Afrika Selatan membuktikan dengan rekonsiliasi (baca: memaafkan), mereka mampu menyelesaikan konflik rasial yang telah berlangsung demikian lama. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, setelah berulang kali mengalami kegagalan dalam perundingan antara RI-GAM, akhirnya tanggal 15 Agustus 2005 di Finlandia ditandatanganilah Nota Kesepakatan Damai. Peristiwa bersejarah itu menjadi nyata, karena sukma dari kesepakatan tersebut adalah mengakhiri konflik tanpa melihat kesalahan di masa lampau. Tapi lebih berorientasi pada bagaimana menata dan menyelesaikan persoalan yang mungkin timbul di masa depan.

Sebagai catatan penutup, sesungguhnya perbuatan memaafkan itu ternyata tidak hanya memiliki nilai ibadah, tapi juga berimplikasi pada kesehatan psikis dan mendorong lahirnya kedamaian secara sosial. Persoalan bagaimana mendidik hati agar mampu memaafkan, adalah dimulai dengan berpikir positif untuk selalu belajar mengingat kebaikan orang lain, sekecil apapun itu dan melupakan kesalahan orang lain, sebesar apapun itu. 

Kun Wahyu Wardana
(Dimuat di Majalah Media RAHARJA, Edisi Juli 2006)




2 komentar:

  1. Setuju sekali dengan pendapat diatas. Bila di negara ini hal tersebut juga terjadi, maka kehidupan kita akan aman sentosa. Tidak perlu ada ribut2 dan gontok2an, bakar2an sampai bunuh2an.

    BalasHapus
  2. @Anonim:
    Setuju, dan mari kita tularkan rasa ini dari mulai diri sendiri, sekarang juga.
    Terima kasih.
    Salam Takzim.

    BalasHapus