Minggu, 11 September 2011

Syawwal, Kesinambungan Anugerah Ramadhan


[MSB]  Marilah kita syukuri segala karunia Allah yang tiada terhingga dan tidak terbatas. Apapun yang kita minta dan inginkan, Allah siap memberikan seluruhnya kepada kita sesuai kebijakanNya. Baru saja kita lewati bulan Ramadhan, mudah-mudahan amal shalih kita dalam bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT. Taqabbalallaahu minna waminkum, taqabbal yaa kariim.

Anugerah yang kita peroleh secara psikologis/kejiwaan selama bulan suci Ramadhan, yang diharapkan dapat kita lestarikan selama 11 bulan yang akan datang adalah kebiasaan untuk selalu beramal shalih, kebiasaan menjadi hamba yang bertaqwa. Kebiasaan adalah menjadi tujuan Inti dari puasa dan anugerah terbesar selama Ramadhan.


Seorang pakar renang, yang bergelar profesor atau doktor dalam ilmu berenang, yang memiliki dan menguasai teori dan macam-macam gaya dalam berenang, tetapi dia tidak pernah praktek berenang, maka dapat diyakini bahwa dia akan tenggelam di kolam renang. Karena berenang tidak bisa dikuasal hanya dengan teori saja, tetapi tergantung dan seberapa sering praktik dan berlatih berenang.
 
Semua kemampuan praktik bisa didapat dari kebiasaan beramal dan berlatih. Berlatih pun juga tidak asal-asalan. Tetapi harus istiqomah dan teratur. Begitu juga dengan amal shalih. Sehingga derajat manusia ditentukan oleh kebiasaan amalnya. “Dan setiap orang akan memperoleh derajat seimbang dengan apa yang dikerjakan”. Al-An’am : 132.  Kalau amalnya shalih, maka derajatnya adalah keshalihan dalam hidupnya. Tetapi kalau derajat amalya maksiat, maka derajatnya kefasikan dalam hidupnya. “Demikianlah kami jadikan hiasan (dipandang baik) oIeh umat manusia tergantung amal kebiasaanya”. al-Anam:
:108.

Jadi kalau seseorang terbiasa amal shalih, maka dia akan cinta kebaikan. Sebaliknya kalau seseorang terbiasa maksiat, maka dia akan cinta kepada kemaksiatan. Witing trisno jalaran son gko kulino (Tumbuhnya cinta karena kebiasaan). Ibadah akan tampak indah bagi seseorang yang terbiasa beribadah, dan orang yang terbiasa maksiat akan memandang indah setiap kemaksiatan yang dikerjakan.

Begitu juga ulama yang tidak mengamalkan ilmunya, maka kahancuranlah yang didapat. Bahkan dalam sebuah hadith dianggap celaka, karena bagaikan pohon yang tak berbuah. Tidak membuahkan akhlakul karimah.
 
Dalam bulan Ramadhan ada motivasi-motivasi, tetapi itu berlaku bagi yang beriman. Begitu juga dengan turunnya al-Quran yang merupakan sugesti bagi orang yang beriman. Tetapi bagi orang yang tidak beriman turunnya al-Quran akan menjadi beban. Surat al-Isra 17:82 menyatakan:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian” [QS AL-Isra (17):82].

Yang hidupnya dalam kedzaliman, maka shalat, puasa, zakat, dan perintah-perintah yang lain adalah beban, merugikan mereka. Nah kalau sugesti dan motivasi selama bulan Ramadhan itu kita laksanakan dengan istiqomah, maka akibatnya tercetak dalam jiwa kita, sebuah zhann (persepsi) baru. Allah sudah memberikan yang terbaik bagi hambaNya, kalau husnuzhzhan (persepsi baik), maka pemberian Allah itu juga berakibat baik. Kita yang biasanya berpuasa, tidak berbohong, rajin bangun malam, rajin bertadarrus al-Quran, rajin bersedekah, maka ketika memasuki bulan Syawwal persepsi tersebut akan kita bawa sebagai kebiasan yang baik. ltulah presepsi yang kita bawa selepas Ramadhan dalam bulan Syawwal ini.

Rasanya tidak enak kalau biasanya bertadarrus, kemudian tidak bertadarrus, rasanya tidak enak berbohong kalau selama Ramadhan kita tidak berbohong. Maka semua ini tergantung kita dalam meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang baik itu di sebelas bulan yang akan datang. Ada yang hanya mampu bertahan satu bulan, ada yang dua bulan, ada yang tiga bulan, ada yang sampai ketemu Ramadhan lagi mampu dipertahankan, bahkan ada juga yang tidak mampu mempertahankan sama sekali.

Kita mungkin sudah tahu akan hal ini, tetapi mengapa kita sulit mempraktekannya. Mengapa beramal shalih sulit istiqomah, mengikuti petunjuk Allah susah. Bertaqwa secara istiqomah sulit. Kesulitan itu karena kita tidak terbiasa, kalau sudah biasa tidak ada kata sulit. Contohnya, orang desa yang tidak biasa bersepatu harus dipaksa pakal sepatu, tentu dia akan kesulitan berjalan. Berbeda dengan orang yang biasa bersepatu, tentu akan mudah dan enjoy aja. Islam pun awalnya adalah asing, dan sulit untuk dipraktikkan, seperti halnya para mualtaf, tetapi kalau sudah biasa akan terasa mudah. Shalat akan sulit bagi yang tidak biasa, zakat juga sulit bagi yang tidak pernah berzakat dst.

Jadi sebetulnya tidak ada kata sulit bagi yang sudah biasa. Kalaupun ada kesulitan bagaikan seorang siswa yang diuji untuk kenaikan kelas atau tingkat. Karena setiap kesulitan ada kemudahan, inna ma’aI ‘usri yusron. Setiap kesulitan itu telah diatur oleh Allah. Jadi tidak mungkin melebihi batas kemampuan manusia, karena kesulitan atau ujian itu datangnya dari Allah. Karena orang yang betul-betul tahu, bahwa kesulitan atau musibah itu datangnya dari Allah, maka dia akan yakin pasti Allah telah mengukur kemampuan hamba yang diujinya itu. Allah tidak pernah mendhalimi hambaNya. Kalau dirasa melebihi batas kemampuan, itu hanya persepsi manusia saja yang jelek, yang husnudhan tentu akan diterirna dengan sabar.
 
Demikianlah betapa kebiasaan yang baik selama bulan Ramadhan adalah anugerah yang terbaik bagi kita, yang telah menjalankan puasa dengan benar, dan Syawwal sebagai kesinambungan adalah dengan tetap mempertahankan amal shalih yang sudah istiqomah itu, agar kebiasaan ini memperkuat husnudhan kita. Sebab kalau nanti setelah kita memperoleh dhan yang baru ini lalu kita membiasakan kebiasan lain, yang menyimpang (fujuur), maka husnudhan kita akan berubah menjadi su’udhan lagi terhadap pemberian Allah kepada kita, sebab Allah itu tergantung persepsi hambanya (ana ‘inda dhanni ‘abdi bihi).

Karena itu bulan Ramadhan adalah bulan pembentukan dhan (presepsi) semua perintah Allah, Dan bulan Syawwal dan seterusnya adalah bulan-bulan untuk mempertahankan yang kita peroleh di bulan Ramadhan yang lalu. Karena kita tidak akan menjadi sempurna, maka kita evaluasi selama 6 bulan seperti yang dilakukan oleh para sahabat, bagaimana dan apa yang sudah kita dapat, dan apa yang belum. Dan 6 bulan berikutnya kita gunakan untuk menghadapi bulan Ramadhan yang akan menyongsong kita, agar amal shalih kita semakin meningkat. Dan persepsi kita kepada Allah juga semakin baik.
Wallahu a’lam.


Sumber bacaan: dr. H. Ahmad Sungkar, Sp. Kj
 Dakwah Jum’at Al-Akbar Edisi 74, 17 Syawwal 1429H

7 komentar:

  1. Salam blogger dan salam satu jiwa
    walaupun bulan ramadhan telah tiada, tapi bulan syawal masih diberikan oleh Allah bagi yang ingin menyempurnakan ibadahnya di bulan syawal ini.

    BalasHapus
  2. semangat Ramadhan harus terus berjalan.

    salam kenal pak :)

    BalasHapus
  3. Salam alaikum, Setuju, Mas..memang mengubah dari kebiasaan yang buruk ke yang baik itu hampir2 seperti kesulitan memindahkan gunung..

    meski demikian, benar kata Mas.. energi pendorong perubahan yang kuat adalah sikap berbaik sangka. Yakin, bahwa niat baik jika diamalkan pasti berbuah baik..dan yakin Allah Maha Memaklumi jatuh-bangun usaha kita dalam membangun kebiasaan yang baik.

    Allahua'lam. Semoga Allah melimpahkan kemauan dan kemampuan bagi kita dalam upaya selalu memperbaiki diri. Amiiin.

    BalasHapus
  4. @Blog SEO:
    Semoga kita semua mampu mewujudkan, menjadi improvement dalam 11 bulan ke depan.

    Terima kasih.

    BalasHapus
  5. @Aji Prast:
    Setuju sekali. Salam kenal juga.

    Terima kasih, salam Takim.

    BalasHapus
  6. @MUXLIMO:
    Aaminn, semoga Allah senantiasa merahmati anda, dan mencurahkan lindungannya. Memberikan anda kekuatan dankesehatan.

    Jazakallah, Salam Takzim.

    BalasHapus